Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk
pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak
pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini
tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan “, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum
pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ;
actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam
hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang
tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah menlanggar ketentuan, dia diberi
pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari
pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle
)[1].
Dalam buku – buku Belanda pada umumnya tidak
mengadakan pemisahan antara dilarangnya perbuatan ( strafbaar heid van het feit
) dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut ( strafbaar heid van
de persoon). Dengan kata lain, schuld ( kesalahan ) tidak dapat dimengerti
tanpa adanya wederrechttelijkheid ( sifat melawan hukum ), tapi sebaliknya
sifat melawan hukum mungkin ada tanpa adanya kesalahan[2]. Prof. Moeljatno
mengartikannya ; orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan ( dijatuhi pidana )
kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana,
tidak selalu dia dapat dipidana. Lebih lanjut Prof. Moeljatno menjelaskan bahwa
orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak
mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya,
kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak
melanggar larangan pidana. Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana,
tidak selalu dapat dipidana. Mislanya, seorang anak yang bermain dengan korek
api dan menyalakannya di dinding rumah tetangga yang hingga menimbulkan bahaya
umum baik terhadap barang maupun orang ( pasal 187 KUH – Pidana ) [3]. Walaupun
anak tersebut yang membakar rumah tetangga atau setidaknya karena perbuatan
anak tersebut rumah tetangga terbakar ( pasal 188 KUH – pidana )[4], anak
tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam
hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan
(Subjective guilt ) itu :
1. Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas – Asas Hukum
Pidana, berpandangan bahwa “ orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika
dia pada waktu melakukan perbuatan pidana , dilihat dari segi masyarakat dapat
dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat
padahal mampu mengetahui makna ( jelek ) perbuatan tersebut, dengan kata lain
perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela
karena melakukan perbuatan pidana ( tindakan pidana menurut UU dan Sudarto )
meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan
karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban – kewajiaban yang dalam hal
tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya ( sepatutnya ) dijalankan
olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan
padahal mengerti ( mengetahui ) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal
kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban –
kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat
dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain
itu , orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya
kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang yang
mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban – kewajiban yang diharuskan
kepadanya, namun ada seorang anak yang tiba – tiba menyeberang jalan sehingga
ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela
karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja
olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya.
2. Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur ; a)
menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan ( verwijtbaarheid ), b)
menurut hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya ( verwijdbaarheid )
perbuatan yang melawan hukum
3. Mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap
si pembuat tindak pidana ( schuldist der Erbegriff der Vorraussetzungen, de aus
der straftat einen personlichen Verwurf gegen den tater begrunden )
4. Sudarto dalam bukunya Hukum Pidana I, cetakan ke -2
mengartikan kesalahan dalam arti yang seluas – luasnya [5] adalah hubungan
bathin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan pada si pembuat itu.
Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa.
5. Van Hamel mengatakan bahwa “ kesalahan dalam suatu
delikmerupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan si pembuat
dan terwujudnya unsur – unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum ( schuld is de verantwoordelijkheid rechtens )”
6. Van Hattum berpendapat ; “ pengertian kesalahan
yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum, meliputi semua hal yang
bersifat psychis yang terdapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk
si pembuatnya.
7. Karni yang menggunakan istilah “ salah dosa “
mengatakan : “ pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya
tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Salah dosa ada jika perbuatan dapat
dan patut dipertanggungjawabkan oleh si pembuat; harus boleh dicela karena
perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus
dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan salah.
8. Simons ( diikuti oleh Moeljatno ) kesalahan adalah
adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana
dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena karena melakukan
perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan
dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni :
1. adanya keadaan psychis ( bathin ) yang tertentu,
dan
2. adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat,
bahkan yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua
tergantung pada yang pertama. Lebih jelasnya mengenai keadaan bathin orang yang
melakukan perbuatan ( tindakan ) diuraikan di bawah ini ;
Kebanyakan KUH–Pidana Negara – Negara lain[6]
menentukan bahwa anak dibawah umur tertentu, misalnya 10 tahun tidak dapat
diajukan tuntutan pidana. Namun dalam KUH-Pidana kita tidak mengatur hal yang
demikian. Dalam Swb. Nederland dahulu 1885 terdapat pasal 38 yang menentukan
bahwa anak – anak dibawah 10 tahun tidak dapat dikenai pidana, kemudian pada
tahun 1905 pasal ini dihapus. Hal ini dimaksudkan agar anak – anak dibawah 10
tahun dimungkinkan penuntutan, tidak untuk dipidana melainkan diadakan tindakan
( maatregelen). Hal ini mengakibatkan :
1. dengan hilangnya batas umur tersebut berarti anak –
anak dibawah umur meskipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik
dengan yang buruk ( zonder oordeel des onderscheids ) harus dipidana. Pada
awalnya pasal 37 ( = pasal 44 KUH-Pidana kita [7]) juga berlaku bagi anak –
anak, namun pasal tersebut tidak dapat digunakan atas dasar umur yang masih
sangat muda.
2. terhadap anak – anak itu tentunya lebih lekas
dianggap tidak ada kesengajaan/ kealpaan daripada orang dewasa
3. kalau memang anak tersebut belum (belum cukup )
mempunyai penginsyafan tentang makna perbuatannya, maka atas dasar tidak
dipidana jika tak ada kesalahan dia dapat diperkecualikan. Jadi anak tersebut
tidak dapat dipidana tidak didasarkan atas suatu pasal dalam wet, melainkan
atas hukum tak tertulis.
Keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (
tindakan ) merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab (
toerekeningsvarbaarheid) yang merupakan dasar yang penting untuk adanya suatu
kesalahan. Sebab keadaan jiwa terdakwa harus sehat atau normal sehingga
diharapkan dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik
dalam masyarakat. Jika keadaan jiwanya normal, fungsinya pun normal. Bagi orang
yang kondisi kejiwaannya tidak normal tidak ada gunanya diadakan
pertanggungjawaban, mereka harus dirawat dan dididik dengan cara yang tepat.
Hal ini dinyatakan dalam pasal 44 KUH-Pidana.
mngenai hubungan antara keadaan jiwa dengan perbuatan
yang dilakukan, yang menimbulkan celaan. Hal ini berkaitan dengan : apakah
tindakan pidana yang telah dilakukan, juga diinsyafi, dimengerti olehnya
sebagai demikian ?, hal ini berkaitan dengan kesengajaan ( opzet, dolus ).
Dalam hal ini delik dibagi menjadi :
1. delik dolus yakni perbuatan – perbuatan yang
dilakukan dengan kesengajaan atau yang diinsyafi sebagai demikian
2. delik culpa yakni perbuatan – perbuatan yang
dilakukan dengan kealpaan
Delik culpa dibagi menjadi :
1. delik materiil yakni delik yang mensyaratkan adanya
akibat. Misalnya pasal 188 KUH-Pidana[8] .
2. delik formil yakni delik yang mensyaratkan adanya
perbuatan. Mislanya pasla 480[9] dan pasal 287[10] KUH-Pidana
dari pendapat – pendapat di atas maka kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak
pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa
perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini bukanlah
pencelaan berdasarkan kesusilaan,( ethische schuld ) melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku ( verantwoordelijkheid rechtens ) seperti yang
dikemukakan oleh Van Hamel. Namun Sudarto berpendapat bahwa untuk adanya
kesalahan, harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat bahwa “ dass Recht ist das etische minimum “; setidak –
tidaknya pembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat
yang terdiri dari sesama hidupnya dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama. Pernyatan bahwa kesalahan itu mengandung unsur ethis ( kesusilaan )
tidak boleh di balik. Tidak selamanya orang yang melakukan perbuatan atau orang
yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada
umumnya melakukan perbuatan yang dapat dikatakan tidka susila itu, dapat
dikatakan bersalah dalam arti patut dicela menurut hukum.
Arti kesalahan ( Sudarto, dalam bukunya ; Hukum Pidana
I):
1. kesalahan dalam arti seluas – luasnya, yang dapat
disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya
terkandung makna dapat dicelanya ( verwijtbaarheid ) si pembuat atas
perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti
bahwa dapat dicela atas perbuatannya
2. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm
) yang berupa :
2.1. kesengajaan ( dolus, opzet, vorsatz, atau
intention )
2.2. kealpaan ( culpa, onachtzaamheid, nelatigheid,
fahrlassigkeit, atau negligence ) ini pengertian kesalahan yuridis
3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan ( culpa
) seperti yang disebutkan daalm 2.22 di atas. Sudarto menganjurkan menggunakan
istilah kealpaan saja untuk kesalahan dalam arti sempit.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti
luas ) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian
kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normarif (
normativer schuldbegriff ).
· Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini
kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis ( batin ) antara pembuat
dan perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan[11] dan pada
kealpaan[12]. Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si
pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak
terhadap perbuatan atau akibat perbuatan
· Pengertian kesalahan yang normatif, pandangan yang
normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya,
tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat
menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya
keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik
menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta – fakta yang ada.
Menurut Moeljatno seyogyanya kita ( Indonesia )
menggunakan pengertian kesalahan yang normatif, sebab dalam KUH-Pidana kita (
antara lain pasal 44 [13]). Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan
yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUH-Pidana
kita sistemnya ialah bahwa delik – delik dolus diancam dengan pidana yang jauh
lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa. Contohnya pasal 338[14] mengenai
pembunuhan( dolus) diancam 15 tahun, pasal 359[15] menyebabkan mati karena
kealpaan diancam 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun, pasal 354[16]
penganiyayaan berat diancam 8 tahun dan jika sampai mengakibatkan mati diancam
penjara 10 tahun. Pasal 480[17] KUH-Pidana adalah pasal yang sesungguhnya
ganjil, karena dalam pasal ini delik dolus dan culpa ancamannya sama. Moeljatno
tidak begitu setuju jika dikatakan bahwa kesengajaan adalah bentuk kesalahan
yang besar dan kealpaan dipandang sebagai bentuk kesalahan yang kecil. Jika
dipandang dari perspektif orang yang melakukan perbuatan, mungkin memang
demikian. Karena orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu dilarang
menunjukkan sikap bathin yang lebih jahat daripada sikap bathin orang yang
karena alpa atau lalai tentang kewajiban – kewajiban, menimbulkan perbuatan (
tindak ) pidana. Dengan kata lain terdakwa bukanlah penjahat melainkan hanya
lalai, kurang berhati – hati. Jika dilihat dari segi masyarakat yang dirugikan
karena perbuatan tadi, menurutnya keduanya adalah sama beratnya, tidak ada yang
besar dan tidak ada yang kecil, yang ada hanya dalam corak atau jenis
berlainan.
Dari pengertian – pengertian yang telah diuraikan di
atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur ( menurut Sudarto), yakni :
1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat
( schuldfahigkeit atau zurechnungsfaghigkeit ) artinya keadaan jiwa si pembuat
harus normal
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya yang berupa kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ) yang
disebut bentuk – bentuk kesalahan
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau
tidak ada alasan pemaaf
Ad. 1) dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng
tertentu menjadi “ normadressat ” yang mampu
Ad. 2) dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pembuat terhadap perbuatannya
Ad.3) meskipun yang disebut dalam a dan b, ada
kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga
kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa
( pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana[18] ).
Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu
kesalahan, terdakwa harus :
7 Melakukan perbuatan pidana ( sifat melawan hukum )
7 Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
7 Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa
kesengajaan atau kealpaan
7 Tidak adanya alasan pemaaf
Selain itu kesalahan juga ada hubungannya dengan
kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada dan
tidak adanya kesalahan ada tiga pendapat dari :
· Kaum indeterminis ( penganut indeterminsme), pada
dasarnya berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan
sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak
ada kesalahan, apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan sehingga
tidak ada pemidanaan.
· Kaum determinis ( penganut determinisme ) mengatakan
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan
sepenuhnya oleh watak ( dalam arti nafsu – nafsu manusiad dalam hubungan
kekuatan satu sama lain) dan motif – motif, ialah perangsang – perangsang yang
datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti
bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai
kesalahan,sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas. Namun tidak berarti orang
yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Justru karena tidak ada kehendak bebas maka ada
pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Namun reaksi terhadap
perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat, dan
bukannya pidana dalam arti “ penderitaan sebagai hasil dari kesalahan oleh si
pembuat “
· Golongan ketiga mengatakan ada dan tidak adanya
kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal ( irrelevant ).
Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak
bebas.
REFERENSI
1. Sudarto, Hukum Pidana I, yayasan Sudarto d/a
fakultas hukum Undip, Semarang, 1990
2. Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka cipta,
Jakarta, 2000
[1] Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak
adanya arrest susu H.R. 1916 Nederland ( van Bammelen Arresten Strafrecht ),
hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik – delik jenis overtredingen,
berlaku asas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana.
[2] Pompe hlm,88; Vos hlm, 84
[3] Pasal 187 KUH – Pidana ; “ barangsiapa dengan
sengaja menimbulkan kebakaran , ledakan atau banjir, diancam : ke-1 dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum
bagi barang; ke- 2 dengan pidana penjara paling lamalima belas tahun, jika
karenanya timbul bahaya bagi orang lain;
ke-3 dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama puluh tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa
orang lain dan mengakibatkan matinya orang.
[4] Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang,
jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
mengakibatkan matinya orang lain.
[5] = pertanggungjawaban pidana
[6] Contoh; KUH-Pidana Swiss 6 tahun, 6 – 14 tahun ada
aturannya sendiri; Jerman 14 tahun
[7] Pasal 44 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya , disebabkan keran
jiwanya cacat dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling ) atau terganggu karena
penyakit ( ziekelijke storing ), tidak dipidana “ ; (2) “ jika ternyata bahwa
perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerinthakan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan “ ; (3) “ ketentuan tersebut daalm ayat
(2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, pengadilan negeri “.
[8] Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang,
jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
mengakibatkan matinya orang lain.
[9] Pasal 480 KUH-Pidana : “ diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah
karena penadahan ; ke- 1 barangsiapa membeli, menawarkan, menukar, menerima
gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari
kejahatan; ke-2 barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga,bahwa diperoleh dari kejahatan.
[10] Pasal 287 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa
bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun “
[11] Kesengajaan ; hubungan batin itu berupa
menghendaki perbuatannya ( beserta akibatnya )
[12] Kealpaan ; tidak ada kehendak
[13] Pasal 44 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya , disebabkan keran
jiwanya cacat dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling ) atau terganggu karena
penyakit ( ziekelijke storing ), tidak dipidana “ ; (2) “ jika ternyata bahwa
perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerinthakan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan “ ; (3) “ ketentuan tersebut daalm ayat (2)
hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, pengadilan negeri “.
[14] Pasal 338 KUH-Pidana ; “ barangsiapa dengan
sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan , dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun “
[15] Pasal 359 KUH-Pidana : “ barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, di ancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun “
[16] Pasal 354 KUH-Pidana : (1) “ barangsiapa dengan
sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiyayaan berat,
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun “ ; (2) “ jika perbuatan
mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun “
[17] Pasal 480 KUH-Pidana : “ diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah
karena penadahan ; ke- 1 barangsiapa membeli, menawarkan, menukar, menerima
gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari
kejahatan; ke-2 barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga,bahwa diperoleh dari kejahatan “ .
[18]Pasal 49 ayat (2) KUH-Pidana ; “Pembelaan terpaksa
yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat
kaena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana “
D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar