BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu unsur esensial dari negara ialah
penguasaan suatu daerah teritorial, di mana hukum negara itu beroperasi. Atas
wilayah ini, wewenang tertinggi diberikan kepada negara itu. Dengan demikian
timbullah konsep "Kedaulatan Teritorial" yang berarti bahwa di daerah
teritorial ini yuridiksi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta
benda.
Kekuatan teritorial dilukiskan oleh Max Huber,
arbitrator dalam Island of Palmas Arbitation, dengan istilah-istilah berikut:
"Kedaulatan dalam hubungan antara
negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian
dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, tanpa campur
tangan negara lain, fungsi-fungsi suatu negara".
Indonesia adalah salah satu negara yang sangat
rawan wilayahnya di klaim oleh negara tetangga atau rawan terhadap kekuaasaan
teritorial indonesia. Salah satunya pulau sipadan dan ligitan. Kondisi
geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dipersatukan oleh lautan
dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya politik
persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam usaha mencapai kepentingan, tujuan
dan cita-cita nasional, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan yang harus ditanggulangi. Salah satu bentuk ancaman
tersebut adalah masalah perbatasan NKRI yang mencuat terakhir ini yaitu klaim
Negara Philipina atas pulau Miangas yang secara posisi geografis kedudukannya
lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan
memperluas wilayah.
Desakan agar pemerintah bertindak cepat dan
tegas pun mengemuka dari banyak kalangan, mulai wakil rakyat, pengamat politik,
hingga masyarakat. Kedaulatan territorial sangat penting bagi suatu negara,
karena sebagaimana memiliki arti yaitu kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara
dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Didalam wilayah inilah
negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.[1]
Hakim Huber dalam kasus yang terkenal The Island of Palmas mengungkapkan
bahwa dalam kaitannya dengan wilayah ini, kedaulatan mempunyai dua ciri yang
sangat penting :[2]
1. Kedaulatan merupakan
prasyarat hukum untuk adanya suatu negara
2. Kedaulatan menunjukan
negara tersebut merdeka yang sekaligus juaga merupakan fungsi dari suatu
negara.
Sehingga apabila kita melihat pentingnya
kedaulatan yang ada di suatu negara menjelaskan bahwa suatu negara tidak dapat
melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar dari wilayahnya yang dapat
mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Hal inilah yang membuat kami
tertarik untuk mencari dan memahami teori-teori yang berkaitan dengan kedaulatan,
terutama kedaulatan territorial perairan.
Wilayah kedaulatan suatu negara mencakup pula
ruang udara diatas wilayahnya, juga meliputi ruang angkasa. Hal ini menjadi
penting sebab, sering terjadi pelanggaran-pelanggara terhadap kedua hal
tersebut, seperti masuknya pesawat udara ke dalam suatu negara tanpa izin ke
dalam wilayahnya, karena alasan itulah negara-negara menjadi semakin sadar akan
peranan ruang udara dan ruang angkasa terhadap setiap pelanggaran terhadap
kedua hal tersebut. Hal ini dapat berakibat fatal bagi negara tersebut.
Rumusan Masalah
Dalam membuat makalah ini, kami membatasi
rumusan masalah yang menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami
yaitu pada hal-hal berikut :
1. Bagaimana cara memperoleh kedaulatan teritorial
dan kehilangan kedaulatan
2. Apakah yang dimaksud
dengan kedaulatan atas wilayah :
a. Laut territorial
b. Zona tambahan
c. Zona Ekonomi Ekslusif
d. Laut Lepas
e. Antartica dan Artic
3. Apakah yang dimaksud
dengan kedaulatan atas ruang udara dan angkasa?
BAB II
ISI
Memperoleh Kedaulatan Teritorial
Pendudukan
Pendudukan (occupation) ialah penegakan
kedaulatan atas wilayah yang bukan di bawah wewenang negara lain. Entah yang
baru ditemukan, atau (suatu hal yang tidak mungkin) ditinggalkan oleh negara
yang sebelumnya menguasainya. Secara klasik, pokok persoalan suatu penduduk
ialah "Terra Nullius" dan wilayah yang didiami oleh suku atau bangsa
yang mempunyai suatu organisasi sosial dan politik tidak dapat bersifat
"Terra Nullius".
Mahkamah Internasional Permanen menetapkan bahwa
agar berlaku suatu pendudukan di pihak negara yang menduduki diperlukan dua
unsur:
1. Suatu maksud atau keinginan untuk bertindak
sebagai yang berkuasa;
2. Pelaksanaan atau penunjukkan kedaulatan secara
memadai, yaitu mencakup:
a. Berlangsung secara damai;
b. Nyata dan langsung;
c. Berkesinambungan (terus menerus, tidak
terputus-putus)
Mahkamah Internasional menekankan pentingnya
pelaksanaan sesungguhnya fungsi-fungsi negara, misalnya administrasi lokal,
yurisdiksi lokal, dan tindakan-tindakan autoritas legislatif sebagai bukti
penunjukkan kedaulatan secara berkesinambungan yang diperlukan untuk
mengkonfirmasi hak.
Teori Klaim Pendudukan
1. Teori Kontinuitas (continuity) di mana suatu
tindakan pendudukan di suatu wilayah memperpanjang kedaulatan negara yang
menduduki itu sejauh diperlukan untuk keamanan atau pengembangan alam wilayah
yang diklaim itu.
2. Teori Hubungan (contiguity), di mana kedaulatan
negara yang menduduki itu mencapai wilayah-wilayah yang berdekatan yang secara
geografis berhubungan dengan wilayah yang diklaim itu.
Aneksasi (annexation)
Aneksasi adalah suatu metode memperoleh
kedaulatan teritorial yang digunakan dalam dua perangkat keadaan:
1. Di mana wilayah yang dianeksasi itu telah
ditaklukan oleh negara yang menganeksasi.
Harus ada maksud
menganeksasi yang dinyatakan secara resmi, yang biasanya diungkapkan dalam
suatu surat (nota) yang dikirimkan kepada semua negara lain yang
berkepentingan.
2. Di mana wilayah yang dianeksasi itu benar-benar
berada dalam posisi lebih rendah daripada negara penganeksasi pada waktu
pengumuman maksud negara penganeksasi.
Akresi (accretion)
Hak dengan akresi terjadi bila suatu negara
bertambah wilayahnya, karena faktor-faktor perubahan alam (melalui sebab-sebab
alamiah), yang mungkin oleh pelebaran aliran sungai atau faktor alam lain
(misalnya endapan / sedimentasi, munculnya pulau setelah letusan gunung
berapi), ke wilayah yang telah berada di bawah kedaulatan negara yang
memperoleh itu.
Sesi (cession)
Sesi (penyerahan) merupakan suatu metode yang
penting untuk memperoleh kedaulatan teritorial. Metode ini bersandar pada
prinsip bahwa hak mengalihkan teritorialnya adalah sifat fundamental dari
kedaulatan suatu negara.
Preskripsi (prescription)
Hak clengan preskripsi (yaitu preskripsi
akuistif) adalah hasil pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai untuk
jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan negara
yang satu lagi.
Sejumlah yuris (termasuk Rivier dan cle Martens)
telah menyangkal bahwa preskripsi akuistif diakui oleh hukum internasional.
Tidak ada keputusan suatu pengadilan internasional yang secara meyakinkan
mendukung doktrin preskripsi akuisitif.
lntegrasi
Integrasi adalah merupakan penggabungan sebuah
kawasan atau wilayah ke dalam suatu negara yang mana biasanya negara yang akan
diajak bergabung atau berintegrasi tersebut tempat atau letaknya berdekatan
dengan wilayah yang akan berintegrasi tersebut. Hal ini di samping untuk
memudahkan hubungan antara wilayah yang akan berintegrasi tersebut dengan
negara yang akan diajak berintegrasi, suatu wilayah yang akan berintegrasi
biasanya adalah merupakan sebuah wilayah yang pernah dijajah dan diterlantarkan
begitu saja oleh penjajahnya.
Revolusi (independen)
Sebuah negara independen adalah merupakan sebuah
negara yang berdiri sendiri tanpa ada bantuan dari negara lain maupun campur
tangan dari pihak lain. Negara yang independen biasanya mendapatkan kemerdekaan
atau kebebasannya dari tangan penjajah dengan melalui revolusi atau perjuangan
untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah penjajahannya dan untuk mendirikan
sebuah negara baru walaupun tidak diakui oleh negara penjajahnya.
Negara independen adalah merupakan negara yang
mendapatkan kemerdekaannya dengan melalui perjuangan baik fisik maupun
diplomasi. Jadi negara independen tidak mendapatkan kemerdekaannya berdasarkan
hadiah ataupun pencaplokan atau pendudukan.
Keputusan Konvensi Negara-Negara
Hal ini biasanya terjadi di mana suatu
konferensi negara-negara yang menang pada akhir suatu perang, menyerahkan
wilayah kepada suatu negara mengingat suatu penyelesaian perdamaian umum.
Misalnya pembagian wilayah Eropa dalam konferensi perdamaian Versailles, 1919.
Kehilangan Kedaulatan Teritorial
Metode-metode kehilangan kedaulatan teritorial
persis sama seperti cara-cara memperolehnya. Jadi kedaulatan teritorial dapat
hilang dengan dereliksi (sesuai dengan pendudukan di pihak yang memperoleh dan
yang menuntut suatu maksud sebaliknya di pihak negara yang meninggalkan untuk
melepaskan penguasaan efektifnya), dengan penaklukan, operasi alam (sesuai
dengan akresi dipihak negara yang memperolehnya), dan dengan preskripsi. Tetapi
ada suatu cara kehilangan wilayah yang tidak sesuai dengan salah satu cara
memperolehnya, yaitu revolusi yang diikuti oleh pemisahan (secession) sebagian
wilayah negara yang bersangkutan
Kedaulatan Atas Wilayah Laut
kedaulatan negara pantai meliputi laut
teritorialnya , termasuk ruang udara diatasnya dab dasar laut serta tanah
dibawahnya. Dalam hukum laut baru ini pun kedaulatan negara tetap dibatasi
dengan hak lintas damai bagi kapal asing. Disamping ketentuan mengenai garis
pangkal untuk mengukur lebar laut territorial (garis air rendah, garis pangkal
lurus dan garis penutup) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konvensi
memuat ketentuan yang lebih terperinsi mengenai beberapa keadaan khusus yang
dapat memengaruhi penetapan garis pangkal, seperti instalasi pelabuhan, tempat
berlabuh di tengah laut dan elevasi surut.
Dalam hal ini adalah adanya kenyataan dimana
telah dicapai kesepakatan mengenai batas terluar laut territorial , yaitu 12
mil laut diukur dari garis pangkal (pasal 4) . Untuk beberapa negara tertentu ,
batas 12 mil ini merupakan perluasan laut teritorialnya, sedangkan untuk
beberapa negara lainnya hal ini diartikan sebagai kegagalan konvensi untuk mengesahkan
tuntutan mereka yang lebih luas.
Belanda termasuk kelompok pertama dan peraturan
perundang-undangan yang memperluas laut teritorialnya hingga 12 mil telah
disahkan dan mulai berlaku pada tahun 1958
Lebih jauh lagi , lebar laut territorial 12 mil
ini mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik termasuk
pengaturan laut lepas, kini tunduk pada pengaturan laut territorial; kebebasan
berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh lagi di
selat-selat tersebut . menegani hal ini , konvensi mencanntumkan beberapa
ketentuan khusus untuk selat-selat tertentu , dimana hak lintas damai dianggap
tidak mencukupi lagi . hal ini akan dibahas lebih lanjut secara terinci dalam
hubungannya dengan rezim hukum tentang pelayaran.
Akhirnya , konvensi memuat ketentuan-ketentuan
untuk penetapan batas laut territorial antara negara-negara yang pantainya
berhadapan dan berdampingan , apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan
sebaliknya, tidak satu negarapun yang berhak menetapkan batas laut
teritorialnya melebihi garis tengah , yaitu suatu garis yang titik-titiknya
sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan
untuk mengukur lebar laut territorial masing-masing negara.
Zona Tambahan
Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24
mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial,
negara pantai dapat berusaha mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya sekaligus dapat
menerapkan hukumnya (pasal 33). Dengan demikian, lebar jalur tambahan ini juga
telah diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan ini juga telah
diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan menurut hukum laut klasik.
Dalam pasal 33 yang dibandingkan dengan pasal 24 konvensi 1958), menentukan
bahwa negara pantai dalam zona tersebut dapat melaksanakan pengawasan yang
diperlukan guna mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya menyangkut
bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter di dalam wilayahnya atau laut
teritorialnya , dan menghukum setiap pelanggran demikian. Namun demikian , zona
tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar
laut territorial diukur .[3]
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zee diartikan sebagai suatu daerah diluar laut
territorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis
pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial (pasal 55 dan 57).
Menurut pengertian pasal 56, negara pantai di zee dapat menikmati
beberapa hal berikut.[4]
1. Hak-hak berdaulat untuk
melakukan eksploitasi , konservasi , dan pengelolaan segala sumber kekayaan
alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta pada perairan di atasnya.
Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis
dari zona tersebut (seperti produksi energy dari air, arus, dan angin).
2. Yurisdiksi, sebagaimana
yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau
buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan laut.
3. Hak-hak dan kewajiban
lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.
Indonesia meratifikasi konvensi Hukum laut
internasional (UU nomor 17 tahun 1985) [5]:
· Sebagian merupakan
terkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum di laut lepas dan hak lintas damai laut
internasional.
· Sebagian merupakan
pengembangan hukum laut yang sudah ada , misalnya ketentuan mengenai lebar laut
territorial menjadi maksimum 12 mil laut dengan kriteria landas kontinen.
· Sebagian merupakan
rejim-rejim hukum baru , seperti asas negara kepulauan , ZEE dan penambangan di
dasar laut internasional.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)[6]
Wilayah perekonomian yang merupakan zoa laut
dengan kewenangan sebatas di bidang perekonomian saja masing-masing memberikan
kemudahan-kemudahan lain sepanjang berkaitan dengan lintas damai.
ZEEI sebagai perkembangan pengaturan maslaah
kelautan yang erat kaitannya dengan pembudidayaan dan pengawasan sumber daya
alam hayati maupun non hayati.
Lahirnya UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEEI
merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut utamanya yang menyangkut
keadaan ekonomi dalam pengelolaan , pengawasan dan pelestariannya, sehingga
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber
daya alam laut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
ZEE peraturan yang dalam UU No. 5 tahun 1983,
sebagai tibdak lanjut atas peluang yang diberikan oleh konvensi tahun 1982
dimana rejim hukum laut dan rejim hukum negara kepulauan telah mendapatkan
pengakuan secara internasional. Rejim hukum internasional tentang ZEEI yang
telah dikembangkan oleh masyarakat internasional dimaksudkan untuk :
1. Melindungi negara pantai
dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat
pantainya oelh kegiatan negara-negara lain dalam mengelola perikanan
berdasarkan rejim laut bebas.
2. Melindungi
kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkunagn laut
serta penelitian ilmiah kelautan dengan upaya pemanfaatan sumber daya alam di
zona tersebut.
Definisi ZEE dalam pasal 55 dan 57 sebagai suatu
wilayah diluar dan beradampingan dengan laut territorial, yang tidak melebihi
jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur
(yaiut , 200 mil laut yang diukur dari batas laut terluar dari laut
territorial).
Kedua di dalam zona ini, negara yang
berdampingan tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan kedaulatan territorial
, tetapi hak-hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi.
Laut Lepas
Ketentuan mengenai laut lepas dalam konvensi
Jenewa 1958 berlaku pada semua bagian laut yang tidak termasuk Zona ekonomi
ekslusif, laut territorial, perairan pedalaman, maupun perairan kepulauan
(pasal 86) . Dengan demikian ketentuan ini menunjukan bahwa zee tidak termasuk
rezim laut lepas . Namun demikian, pasal 86 juga mengatakan bahwa ketentuan ini
tidak mempengaruhi beberapa kebebasan yang dinikmati oleh negara-negara di zee
sesuai dengan pasal . Oleh karena itu , hal ini tampaknya bukan merupakan
alasan yang cukup untuk menegaskan bahwa zee membentuk bagian dari laut lepas .
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa mungkin
lebih baik jika zee dianggap sebagai rezim yang sui generis, dimana hanya
beberapa aspek tertentu saja dari kebebasan di laut lepas yang diterapkan .
Selain itu, peristilahan laut lepas diartikan sebagai perairan yang berada
diluar batas 200 mil laut zee.
Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik
negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai. Kebebasan dilaut lepas ini
antara lain (a) kebebasan berlayar ; (b) kebebasan untuk terbang diatasnya ;
(c) kebebasan meletakan kabel dan pipa di bawah laut ; (d) Kebebasan membuat
pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya. ; (e) Kebebasan menangkap
ikan dan (f) kebebasan melakukan riset ilmiah.
Kebebasan-kebebasan ini harus dilaksanakan oleh
negara-negara dengan mempertmbangkan kepentingan-kepentingan negara lain, serta
hak-hak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut
dalam (pasal 87) . Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksud-maksud damai
dan tidak ada satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap bagian
dari laut lepas ini ( pasal 88 dan 89)
Secara material konvensi hukum laut tahun 1982
dengan konvensi sebelumnya ada beberapa perbedaan:[7]
· Tentang landas kontinen
Dimana pada konvensi hukum laut di Jenewa tahun
1958 dalam penentuan landas kontinen adalah kedalaman air 200 meter atau
kemampuan dalam melakukan eksplorasi , sedang dalam konvensi hukum laut tahun
1982 dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Jarak sampai 200 mil laut, jika tepian laut
kontinen tidak tercapai jarak 200mil laut.
2. Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah
laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil
laut, diukur dari garis dasar laut territorial jika diluar 200 mil laut masih
terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah
daratan. Dan jika memenuhi kriteria kedalaman sendimentasi yang ditetapkan
dalam konvensi.
3. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis
kedalaman (isobat) 2500 meter.
· Tentang laut territorial
Dalam konvensi hukum laut tahun 1958 dan tahun
1960 tidak dapat memcahkan persoalan lebar laut territorial yang dapat
digunakan sebagai patokan secara umum karena tidak ada keseragaman penentuan
lebar laut territorial dan masing-masing negara memperhatikan kepentingannya
sendiri ,, sedang dalam konvensi hukum laut tahun 1982 ditentukan lebar laut
territorial maksimum 12 mil laut dan untuk tambahan maksimum 24 mil laut yang
diukur dari garis dasar territorial.
· Tentang laut lepas
Dalam konvensi Jenewa tahun 1958 wilayah laut
lepas dimulai dari batas terluar laut territorial , sedangkan dalam konvensi
tahun 1982 bahwa laut lepas tidak mencakup zee, laut territorial perairan
pedalaman dan perairan kepualauan .
dalam konvensi tahun 1958 masalah ekses
negara tanpa pantai diatur dalam salah satu passal sdangkan dalam konvensi
tahun 1982 diatur lebih terinci dalam satu bab tersendiri.
Mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta
kebebasan –kebebasan yang melekat di laut lepas. Demikian pula masalah
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas.
Dengan adanya konvensi hukum laut III tahun 1982
selain mempunyai dampak positif terutama bagi negara-negara yang memperoleh
kepentingan dari konvensi tersebut, juga mempunyai dampak negative bagi negara
yang berunding dengan konvensi tersebut untuk negara-negara yang tidak
berpantai. Mengingat konvensi ini bersifat internasioanal, keberadaan maupun
berlakunya telah menjadi kesepakatan oleh negara-negara yang hadir pada konvensi
itu , maka segala konsekuensi yang timbul dengan segala dampaknya menjadi
tanggung jawab bersama.
a. Antartica
Antartica atau Kutub Selatan banyak diperebutkan
oleh negara-negara yang mengklaim kedaulatannya atas wilayah ini. Antartika
adalah wilayah yang luas dan tidak ada penduduk aslinya. Berbagai landasan yang
digunakan dalam mengklaim :
· Pendudukan(Occupation)
· Kontiguitas (Contiguity)
Suatu kedaulatan negara
dibenarkan untuk menduduki suatu wilayah karena negara tersebut adalah negara
yang secara geografis berada paling dekat dengan wilayah yang diklaimnya itu.
· Kontinuitas (Continuity)
Suatu pendudukan di
suatu wilayah (antartica) dibenarkan guna memperluas kedaulatan negara yang
mendudukinya sepanjang diperlukan untuk pengembangan alam dan keamanannya
· Teori Sektor
Teori ini mirip dengan
teori kontiguitas , tetapi teori ini khusus diterapkan untuk wilayah kutub .
Menurut teori ini negara yang terletak dekat dengan wilayah kutub memiliki hak
untuk mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut.[8]
Wilayah Antartica diklaim oleh Argentina,
Australia,Inggris, dan Chili, Perancis,Selandia Baru, dan Norwegia.
Menghadapi banyaknya klaim tsb, atas inisiatif
Amerika Serikat, negara-negara yang berkepentingan dengan antartica mengadakan
perjanjian Antartica tahun 1959. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh semua
negara yang berkepentingan langsung dengan antartica. Ada tiga prinsip yang
mendasari perjanjian Antartica :[9]
1. Bahwa segala kegiatan
yang dilakukan di Antartica hanya untuk maksud-maksud damai saja (pasal 1)—antartica
shall be used for peacefull purpose only” .
2. Berlakunya kebebasan
untuk melekukan penelitian dan kerjasama ilmiah di antartica (pasal 2).
3. Pemeliharan lingkungan
antartica (pasal 9)
Selain itu para pihak juga sepakat tidak
menggunakan antartica untuk maksud-maksud militer, didalamnya dilaang segala
macam peledakan bom nuklir dan pembuangan sampah-sampah radioaktiff .
Perjanjian inipun tidak mengakui klaim-klaim kedaulatan terhadap antartica.
b. Artic (Kutub Utara)
Artic adalah Kutub Utara , dimana sebagaimana
mempunyai kesamaan dengan kutub selatan , sehingga teori yang digunakan sama
sebagaimana teori-teori yang dijelaskan di atas , artic diklaim antara lain
oleh Uni Soviet dan Kanada.
Kedaulatan Negara atas Ruang Udara
Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang
udara diatas wilayahnya. Sebelum abad ke-19, perhatian negara terhadap wilayah
praktis belum ada sama sekali. Namun, setelah berhasil ditemukannya pesawat
terbang oleh Wright, ruang udara mulai diperhitungkan dalam masyarakat internasional.
Pada masa permulaan perkembangannya,
wilayah udara belum begitu penting. Pada masa sekarang pun, konsep kedaulatan
negara di ruang udara belum begitu penting. Pesawat-pesawat terbang yang cukup
banyak pada waktu itu, yaitu balon-balon udara, bebas diterbangkan dari satu
negara dan mendarat di negara lain atau kemana saja pesawat tadi kebetulan
terbawa oleh angin. Misalnya, seorang penerbang bangsa Perancis, yaitu Bleroit
yang telah melakukan penerbangan yang menggemparkan pada tahun 1909, Bleroit
dari Perancis menyebrang melalui selat Calais untuk kemudian mendarat di
Inggris tanpa adanya keberatan apapun dari pihak Inggris.
Namun, pada waktu meletusnya Perang Dunia I yang
melibatkan pula pesawat-pesawat udara dengan teknik yang lebih maju, pesawat
ini telah membuat keamanan negara terancam melalui pemboman udara dan spionase
oleh musuh. Karena itu pula, negara-negara secara sepihak mulai menerapkan
kedaulatannya di ruang udara diatas wilayahnya. Tindakan-tindakan negara ini
ditegaskan dalam pasal 1 Konvensi Paris (Convention Relating to the
Regulation of Aerial Navigation) yang ditandatangani tanggal 13
Oktober 1919 yang memberikan kepada suatu negara “kedaulatan komplit dan
eksklusif” di atas wilayahnya, termasuk perairan teritorialnya. Pasal 1
Konvensi Paris 1919 itu berbunyi sebagai berikut :
“The High Contracting States recognise that
every Power has complete and exclusive sovereignty over the air space above its
territory…and the territorial waters adjacent thereto”
Konvensi Paris tahun 1919 ini diganti oleh
konvensi Chicago tahun 1944 (Convention on International Civil
Aviation) yang diterima secara universal. Dalam pasal 1 konvensi ini
ditegaskan kembali bahwa setiap negara memiliki juridiksi eksklusif dan
wewenang untuk mengontrol ruang udara diatas wilayahnya.
Kapal-kapal negara lain, baik pesawat sipil
ataupun militer tak punya hak untuk memasuki ruang udara atau mendarat di
wilayahnya tanpa persetujuannya. Pada waktu itu, negara-negara telah masuk
dalam Perang Dunia II. Dalam masa itu, negara-negara menyaksikan
serangan-serangan pesawat udara, salah satunya adalah pemboman nuklir melalui
pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat atas Hiroshima dan Nagasaki pada tahun
1945. Sejak peristiwa itu, negara-negara menjadi semakin sadar akan peranan
ruang udara terhadap setiap pelanggaran terhadapnya, seperti masuknya pesawat
udara tanpa izin ke dalam wilayahnya.
Hal ini dapat berakibat fatal. Sebagai contoh
adalah ditembaknya pesawat-pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat RB-47 oleh
Uni Soviet pada Juli 1960 diaas daerah lepas pantai sejauh 3 mil dari pantai
Uni Soviet sebelah utara.
Hal yang cukup penting diutarakan disini yaitu diaturnya
tentang adanya hak lintas damai (The right of innocent passage) sebagaimana
diatur dalam pasal 5 Konvensi Chocago 1944. Akan tetapi, ketentuan itu tidak
diterima oleh banyak negara, karena sensitifnya wilayah ruang udara yang dari
hari ke hari dengan kemajuan teknologi pesawat udara, wilayah udara menjadi
sasaran peka dari pihak lawan. Namun demikian, masuknya pesawat asing tanpa
izin kedalam wilayah suatu negara tidak selalu bersifat fatal, jika masuknya
pesawat asing tersebut disebabkan karena kehabisan bahan bakar, kerusakan
mesin, cuaca buruk atau karena adanya pembajakan, maka hal tersebut biasanya
tidak membawa masalah keamanan atau pelanggaran yang signifikan.
Di Konverensi Chicago tahun 1944, beberapa
negara mengusulkan memasukkan “lima kebebasan udara” (Five Freedoms of
The Air) di dalam konvensi. Namun, usul ini ditolak oleh beberapa
negara. Oleh sebab itu, ada dua perjanjian yang ditandatangani di Chocago pada
7 Desember 1944, yaitu International Air Services Transit Agreement dan International
Air Transport Agreement. Kelima kebebasan udara tersebut diatur dalam
perjanian yang kedua, kelima kebebasan tersebut adalah sebagai berikut :
· Fly across foreign
territory without landing atau terbang melintasi wilayah negara asing tanpa mendarat
· Land for non-traffic
purpose atau mendarat untuk tujuan komersial
· Disembark in a foreign
country traffic orginating in the state of origin of the aircraft atau
menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari negara asal
pesawat udara
· Pick-up in a foreign
country traffic destined for the state of origin of the aircraft atau
mengangkut penumpang pada lalu-lintas negara asing yang bertujuan ke negara
asal pesawat udara
· Carry traffic between two
foreign countries atau mengangkut angkutan udara dua negara asing
Perjanjian yang pertama, yaitu International
Air Services Transit Agreement hanya memasukkan kebebasan pada pin a
dan b saja. Pada kenyataannya, praktek negara-negara menunjukkan bahwa hanya
sedikit negara yang mau menerapkan kebebasan ini. Negara-negara lebih suka
untuk mengadakan perjanjian bilateral atau perjanjian khusus dengan
negara-negara lain.
Kedaulatan Negara atas Ruang Angkasa
Meskipun Konvensi Paris 1915 dan Konvensi
Chocago 1944 mengatur tentang kedaulatan negara di ruang udara, namun batasan
ruang udaranya serta ketinggiannya tidaklah dapat ditentukan. Beberapa sarjana
mendefinisikan ruang udara sebagai bagian dari ruang yang berada diatas
permukaan bumi yang berisi udara untuk mengangkat pesawat udara. Sarjana
lainnya mendefinisikan ruang udara sebagai ruang udara yang berisi gas. Ada
pula sarjana lainnya yang tidak memberikan batasannya karena kesulitan praktis
dalam menetapkan batas atap ruang udara. Akibatnya, batas-batas antara ruang
udara dan ruang angkasa tidak berhasil ditentukan.
Sekedar untuk membedakannya saja, definisi ruang
angkasa adalah ruang yang berada diatas ruang udara. Satelit pertama Sputnik
diluncurkan pada 4 Oktober 1957. Sejak saat itu, ruang angkasa menjadi subur
untuk satelit-satelit lainnya, terutama milik Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Samapai tahun 1985, tercatat bahwa 12000 satelit telah diluncurkan.
Dewasa ini, frekuensi peluncuran-peluncuran
satelit semakin meningkat. Negara-negara bersaing keras meluncurkan
satelit-satelit ke angkasa. Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat telah
meluncurkan satelit komunikasi pertamanya, yaitu PALAPA A-1 pada tahun 1970-an.
Hal ini menandakan bahwa Indonesia sejak tahun 1970-an telah turut serta dalam
era serta pemanfaatan ruang angkasa.
PBB adalah badan yang berkepentingan serta
berperan banyak dalam perkembangan hukum angkasa. Melalui organnya, yaitu
Majelis Umum PBB telah mengembangkan bidang hukum angkasa ini dengan
dibentuknya Komisi Pemanfaatan Damai Ruang Angkasa (Committee on
Peaceful Uses of Space). Hasil karya penting dari Majelis Umum PBB adalah
dikeluarkannya Resolusi Nomor 1962 (XVIII) pada tanggal 13 Desember 1963 yang
diterima oleh negara-negara dengan suara bulat.
Resolusi ini mengandung beberapa prinsip penting
dalam pemanfaatan ruang angkasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
· Eksplorasi dan
pemanfaatan ruang angkasa untuk semua umat manusia berdasarkan kesamaan
(equality)
· Benda-benda ruang
angkasa tidak dapat dimiliki oleh sesuatu negara
· Setiap kegiatan
eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa harus sesuai dengan Hukum
Internasional dan Piagam PBB
· Negara bertanggungjawab
atas kegiatan-kegiatan ruang angkasa, baik negara-negara sponsor ataupun
sebaliknya
· Pelaksanaan yuridiksi
terhadap pesawat ruang angkasa adalah oleh negara tempaat pesawat itu
didaftarkan
· Kewajiban negara-negara
untuk menolong dan menyelamatkan astronot yang berada dalam keadaan bahaya
Majelis Umum juga mengeluarkan Resolusi Nomor 1884 (XVIII) pada tanggal 17
Oktober 1962 yang melarang penempatan senjata nuklir di pesawat angkasa.
Resolusi penting lainnya yaitu Resolusi Majelis Umum Nomor 2222 (XXI) pada
tanggal 14 Desember 1966 yang melahirkan suatu perjanjian terpenting dalam
Hukum Angkasa yang ditandatangani secara serentak di London, Moscow, dan
Whashington pada tanggal 27 Januari 1967. Perjanjian yang dimaksud adalah
Perjanjian tentang Prinsip-Prinsip tentang Kegiatan-Kegiatan Negara dalam
Eksplorasi dan Pemanfaatan Ruang Angkasa, termasuk Bulan dan Benda-Benda
Angkasa Lainnya (Treaty on Principles Governing The Activities of
States in The Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and other
Celestial Bodies). Perjanjian ini memuat 17 pasal. Pasal-pasal terpenting
dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1, menyatakan bahwa eksplorasi dan
pemanfaatan ruang angkasa harus menguntungkan dan untuk kepentingan semua
negara. Ruang Angkasa bebas untuk dieksplorasi dan dimanfaatkan oleh semua
negara, tanpa memandang tingkat perkembangan ekonominya.
Pasal 2, menyatakan bahwa benda-benda angkasa
tidak untuk dimiliki oleh suatu negara.
Pasal 3, menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan
ruang angkasa harus sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB, serta
harus selalu memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan memajukan
kerja sama dan saling pengertian internasional.
Pasal 4 membatasi pasal-pasal diatas, yaitu
bahwa negara-negara dilarang untuk menempatkan senjata-senjata nuklir di
pesawat atau stasiun ruang angkasa. Disebutkan pula bahwa bulan dan benda-benda
angkasa lainnya harus dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai saja.
Pasal 6 dan pasal 7, menetapkan bahwa negara
peluncur dan negara sponsor bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan di
angkasa dan setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut.
Perjanjian ini diikuti dan dilengkapi oleh
perjanjian Internasional lainnya. Kelima perjanian itu adalah sebagai berikut :
· Rescue Agreement tahun 1968
· Liability Convention tahun 1972
· Registration
Convention tahun 1975
· Moon Agreement tahun 1980
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Cara mendapatkan kedaulatan dan kehilangan
kedaulatan
Ada tujuh cara yang diakui secara umum dan
secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan teritorial ialah:
1. Pendudukan (okupasi)
2. Penaklukan (aneksasi)
3. Akresi (accresion: perubahan karena faktor alam)
4. Preskripsi (prescription: pengalihan hak atau
kadaluarsa)
5. Sesi (cession: penyerahan)
6. Integrasi atau sebaliknya disintegrasi.
7. Revolusi (independen).
Dua cara berikutnya adalah:
1. Proses dekolonisasi
2. Keputusan konferensi internasional.
cara kehilangan kedaulatan relatif sama dengan
cara memperoleh kedaulatan
Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan atas
wilayah :
Laut territorial
Telah disepakati mengenai batas terluar laut
territorial , yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal (pasal 4) .
Zona tambahan
Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24
mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial,
negara pantai dapat berusaha mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya sekaligus dapat
menerapkan hukumnya (pasal 33).Tujuannya zona tambahan untuk melaksanakan
pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangannya menyangkut bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter di
dalam wilayahnya atau laut teritorialnya , dan menghukum setiap pelanggran
demikian. Namun demikian , zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari
garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur
Zona Ekonomi Ekslusif
Zee diartikan sebagai suatu daerah diluar laut
territorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal
yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial (pasal 55 dan 57).
Menurut pengertian pasal 56, negara
pantai di zee dapat menikmati beberapa hal berikut.[10]
1) Hak-hak berdaulat untuk
melakukan eksploitasi , konservasi , dan pengelolaan segala sumber kekayaan
alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta pada perairan di atasnya.
Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis
dari zona tersebut (seperti produksi energy dari air, arus, dan angin).
2) Yurisdiksi, sebagaimana
yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau
buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan laut.
3) Hak-hak dan kewajiban
lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.
Indonesia meratifikasi konvensi Hukum laut
internasional
Laut Lepas
Laut lepas adalah laut yang terbuka bagi semua
negara, baik negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai. Kebebasan
dilaut lepas ini antara lain (a) kebebasan berlayar ; (b) kebebasan untuk
terbang diatasnya ; (c) kebebasan meletakan kabel dan pipa di bawah laut ; (d)
Kebebasan membuat pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya. ; (e)
Kebebasan menangkap ikan dan (f) kebebasan melakukan riset ilmiah.
Antartica dan Artic
Antartika dan artic adalah wilayah yang luas dan
tidak ada penduduk aslinya. Berbagai landasan yang digunakan dalam mengklaim :
· Pendudukan(Occupation)
· Kontiguitas (Contiguity)
· Kontinuitas (Continuity)
· Teori Sektor
Karena antartika dan artic adalah daerah
dengan kekayaan alam yg besar yang terkandung di perut buminya maka keluar
perjanjian yang berisikan.Bahwa segala kegiatan yang dilakukan di Antartica
hanya untuk maksud-maksud damai saja (pasal 1)—antartica shall be used for
peacefull purpose only” .Berlakunya kebebasan untuk melekukan
penelitian dan kerjasama ilmiah di antartica (pasal 2).Pemeliharan lingkungan
antartica (pasal 9)
Selain itu para pihak juga sepakat tidak
menggunakan antartica untuk maksud-maksud militer, didalamnya dilaang segala
macam peledakan bom nuklir dan pembuangan sampah-sampah radioaktiff .
Perjanjian inipun tidak mengakui klaim-klaim kedaulatan terhadap antartica.
Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan atas
ruang udara dan angkasa?
Meskipun Konvensi Paris 1915 dan Konvensi
Chocago 1944 mengatur tentang kedaulatan negara di ruang udara, namun batasan
ruang udaranya serta ketinggiannya tidaklah dapat ditentukan.menurut kedua
konvensi tersebut International Air Services Transit Agreement dan International
Air Transport Agreement.,ada lima kebebasan kelima kebebasan tersebut
adalah sebagai berikut :
· Fly across foreign
territory without landing atau terbang melintasi wilayah negara asing tanpa
mendarat
· Land for non-traffic
purpose atau mendarat untuk tujuan komersial
· Disembark in a foreign
country traffic orginating in the state of origin of the aircraft atau
menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari negara asal
pesawat udara
· Pick-up in a foreign
country traffic destined for the state of origin of the aircraft atau
mengangkut penumpang pada lalu-lintas negara asing yang bertujuan ke negara
asal pesawat udara
Carry traffic between two foreign countries atau
mengangkut angkutan udara dua negara asing
[1] Hans
Kelsen, Principles of
International Law, New York : Rinehart & Co .,1956,
hlm.212. Dikutip dari Huala Adolf Aspek-aspek
Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 111.
[8] Parry
and Grant, Encyclopedia Dictionary
of International Law, New York : Oceana,1986,hlm 360. Dikutip
dari Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam
Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 157.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar