Read more: http://infosinta.blogspot.com/2012/04/cara-unik-agar-potingan-di-blog-tidak.html#ixzz2IhEqsyhT IRRSWG: pengangkatan anak menurut hukum adat

Senin, 21 Januari 2013

pengangkatan anak menurut hukum adat


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
          Dalam kehidupan sehari-hari, manusia telah ditakdirkan untuk hidup berpasangan dalam tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri,  dan pada umumnya seorang anak atau keturunan hasil dari perkawinan mereka. Di Indonesia, khususnya dalam kehidupan masyarakat adat, tujuan dari lahirnya seorang anak yang merupakan hasil perkawinan adalah untuk melanjutkan dan menyambung estafet keturunan serta melestarikan harta kekayaan keluarga tersebut, Dalam kehidupan masyarakat adat, mempunyai seorang anak merupakan sebuah karunia yang sangat dibanggakan dalam sebuah keluarga.
Tetapi tidak semua keluarga dapat menikmati rasanya membesarkan seorang anak seperti keluarga lainnya. Di beberapa keluarga, atas kekuasaan Tuhan, dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Maka akibatnya, keturunan dari keluarga tersebut akan terancam punah dan putus bila tidak ada yang meneruskan silsilah keluarga dan kerabat keluarga.
Jika peristiwa tersebut terjadi, maka kerabat keluarga akan menekan dan mendesak sang suami untuk mencari istri lain yang dapat mengandung atau mengangkat anak yang asalnya bisa dari kerabat keluarga atau mengangkat anak yang tidak ada hubungannya dengan kerabat keluarga (adopsi) untuk menjadi penerus keturunan keluarga yang bersangkutan.
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek moyang dan berlaku secara turun-menurun. Hukum adat mengatur tentang masalah perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah :
  1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
  2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
  3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
  4. Yurisprudensi
Dalam makalah ini, akan dijelaskan secara lebih lengkap tentang segala hal terkait pangangkatan atau adopsi anak menurut hukum adat, seperti pengertian dari pengangkatan anak dalam hukum adat, arti penting pengangkatan dan adopsi anak bagi masyarakat adat, pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat, dan akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak dalam hukum adat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menentukan rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :
  1. Pengertian Anak Angkat Dalam Hukum Adat.
  2. Arti Penting Pengangkatan dan Adopsi Anak Bagi Masyarakat Adat.
  3. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat.
  4. Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah paruh kedua pada mata kuliah Hukum Adat semester ganjil 2012/2013. Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan telaah materi pada mata kuliah Hukum Adat.
BAB 2
PEMBAHASAN
            Sebelum menuju ke pembahasan lebih lanjut, alangkah baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa pengertian anak angkat di Indonesia.
            Pada umumnya, definisi pengangkatan anak adalah pengakuan seorang anak yang tidak ada hubungan secara biologis dengan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak sendiri atau setara sebagai kandungnya dan bertanggung jawab atas kehidupan anak tersebut. Hal yang sedemikian rupa di Indonesia sering kita lihat di Indonesia, terutama kasus-kasus pengangkatan anak yang tidak ada hubungan dengan kerabat keluarga orang tua yang mengangkatnya. Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri[1].
            Dalam hukum positif Indonesia, telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang pangangkatan anak dan anak angkat.
Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak abgkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Secara umum definisi tentang pengangkatan anak dan anak angkat di Indonesia sudah diatur dalam kedua peraturan tersebut. Pengangkatan anak sangat penting di Indonesia karena merupakan salah satu solusi untuk meneruskan keterunan bila dalam suatu keluarga, suami dan istri tidak bisa menghasilkan seorang anak dari perkawinannya.
2.1 Pengertian Anak Angkat Dalam Hukum Adat
            Pada hakekatnya, anak merupakan generasi muda dari suatu keluarga yang mempunyai tujuan secara umum untuk meneruskan keturunan keluarganya. Dalam sebuah keluarga, anak kandung mempunyai peran dan kedudukan penting dalam sebuah keluarga, antara lain sebagai penerus silsilah keluarga, meneruskan keturunan, dan melestarikan harta kekayaan keluarganya.
            Tetapi tidak semua keluarga, khususnya dalam kehidupan masyarakat adat, yang dapat menikmati karunia mengandung dan membesarkan seorang anak sampai besar. Keadaan-keadaan seperti itu memaksa keluarga bila ingin mempunyai penerus untuk mengangkat seorang anak.
            Anak angkat dalam pengertian hukum adat dapat kita ambil dari berbagai pendapat para Sarjana hukum adat, antara lain:
            Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas, tertulis bahwa pengangkatan anak yang terdapat di seluruh Nusantara, ialah perbuatan memungut/mengangkat anak dari luar ke dalal kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis[2]. Menurut pendapat Imam Sudiyat, perbuatan pengangkatan anak dalam hukum anak terjadi apabila terciptanya ikatan sosial antara anak angkat dan keluarga angkatnya.
            Menurut pandangan Hilman Hadi Kusuma, ia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga[3]. Pendapat Hilman Hadi Kusuma mengartikan anak angkat yang sah adalah anak orang lain yang telah diakui oleh keluarga angkat dan hukum adat setempat.
            Sedangkat pendapat Soerojo Wignjodipuri telah memberikan batasan bahwa mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri[4]. Dalam pendapat Soerojo menegaskan bahwa dalam pengangkatan anak tidak hanya sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga angkat harus memberlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.
2.2 Arti Penting Pengangkatan dan Adopsi Anak Bagi Masyarakat Adat
            Diatas penulis telah menjelaskan arti penting seorang anak bagi sebuah keluarga dalam kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Anak yang mempunyai banyak fungsi dalam sebuah keluarga membuatnya sangat penting. Bila sebuah keluarga dalam masyarakat adat tidak mempunyai anak, maka banyak kerugian yang akan menimpa keluarga tersebut.
            Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti penting sebuah pertimbangan dalam pengangkatan seorang anak. Ada beberapa yang mengangkat anak untuk kepentingan pemeliharaan keluarga di hari tua, melestarikan harta kekayaan keluarga, tetapi menurut penulis yang paling penting adalah untuk meneruskan garis keturunan keluarga tersebut.
            Mengapa dalam kehidupan masyarakat adat keturunan dalam sebuah keluarga sangat penting? Menurut Djojodigoeno, keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang jadi orang lain[5]. Pendapat tersebut memberikan kesimpulan bahwa keturunan merupakan unsur yang mutlak bagi suatu keluarga, clan, suku, dan kerabat bila mereka menginginkan generasi penerus leluhur-leluhur sebelumnya.
Umumnya di Indonesia, motivasi pengangkatan anak menurut hukum adat ada 14 macam, antara lain :
  1. Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga;
  2. Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu beban orang tua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung;
  3. Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua. Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan;
  4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki;
  5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada sementara anggota masyarakat;
  6. Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya mempunyai banyak kekayaan;
  7. Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan;
  8. Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah baik kehidupannya;
  9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan meneruskan garis keturunan;
  10. Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan;
  11. Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat;
  12. Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus, dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua vang sudah meninggal dunia;
  13. Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat pertalian famili dengan orang tua si anak angkat;
  14. Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita[6]
2.3 Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, antara lain :
  1. Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang tua si anak.
  2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana).
  3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang[7].
  4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:
    • Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat.
    • Disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat.
    • Si anak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya.
    • Membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka harus membayar adat sebesar dua ulun[8]17.
    5.Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan/kenduri yang dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat (semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak tersebut.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat yang belum sempat diungkap sampai saat ini di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan tersebutlah yang membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan dipelajari secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak dalam hukum adat dengan lebih baik.
2.4 Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya, maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut. Contoh pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak yang anak tersebut akan dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat diwariskan lainnya. Tetapi apakah sama akibat hukum pengangkatan seorang anak dalam hukum positif nasional dan hukum adat yang berlaku di Indonesia?
Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing[9]. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.
Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal dari ayah atau ibu angkatnya atas barang-barang dimana kerabat tersebut tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang yang diperoleh dalam perkawinan. Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
  1. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
  2. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
  3. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.
  4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akbiat hukum dengan orang tua kandung dan orang tua angkat.
a. Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat.
Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
b. Dengan orang tua angkat
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung[10].
Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya[11].
Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung, antara lain:
1)      Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
2)      Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957
Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah.
3)      Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959
Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak sudah sangat jelas pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak yang telah diangkat.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengangkatan anak sangat wajar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Terutama untuk masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi sebuah keturunan dalam keluarga mereka. Fungsi anak dalam keluarga anak sangat penting, tidak hanya sebagai penerus generasi keluarganya, tetapi juga aset keluarga dimana anak tersebut akan merawat orang tuanya ketika hari tua datang, anak juga mempunyai fungsi untuk melestarikan harta kekayaan keluarganya dimana anak tersebut akan mempunyai tanggung jawab untuk mensejahterakan nama keluarganya denga harta yang telah diwariskan kepadanya.
Akan tetapi tidak setiap keluarga diberi kesempatan dan keberuntungan dikaruniai dan membesarkan seorang anak. Banyak faktor seperti meninggalnya anak kandung, faktor umur, kemandulan, dan sebab-sebab lainnya yang memaksa keluarga tersebut untuk mengangkat seorang anak demi kebaikan mereka. Jika tidak, maka kerugian yang sangat besar akan menimpa keluarga tersebut seperti putusnya penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga. Arti pentingnya mengangkat seorang anak pada umumnya diakibatkan karena ketidak mampuan seorang suami dan istri menghasilkan anak kandung, oleh karena itu mereka mengangkat atau mengadopsi anak yang mereka inginikan.
Dalam hukum adat, peristiwa pengangkatan anak sering kali terjadi. Metode pengangkatan anak secara adat yang beranekaragam membuat perbuatan tersebut menjadi sangat menarik untuk dipelajari. Pada dasarnya, setiap pengangkata anak secara adat mempunyai kesamaan antara lain pengakuan anak angkat terhadap keluarga angat, timbulnya ikatan kekerabatan antara anak angkat tersebut dengan keluarga angkatnya, putusnya segala hubungan antara anak angkat dengan orang tua/keluarga kandungnya, dan hal-hal lainnya yang membuat anak tersebut menjadi anak sah orang tua angkatnya.
Tentu terdapat akibat dari setiap perbuatan hukum yang telah terjadi. Termasuk dalam pengangkatan seorang anak. Pengangkatan anak merupakan sebuah perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum yang tidak bisa dihindar. Dalam hukum adat, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah timbulnya hak dan kewajiban anak tersebut terhadap orang tua angkatnya dan dirinya sendiri. Anak yang telah diangkat secara adat mempunyai kewajiban untuk menghormati dan haru menuruti orang tua atau wali angkatnya. Sedangkan hak yang anak tersebut dapat kan antara ain adalah hak waris berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi lainnya yang dapat diwariskan. Tetapi dalam hukum adat, tidak segala hal dapat diwariskan. Menurut beberapa putusan Mahkamah Agung, terdapat benda-benda yang dilarang untuk diwariskan kepada anak angkat seperti benda-benda pusaka yang hanya bisa diwariskan oleh keturunan darah, dan baran-barang dimana orang tua angkat telah dapatkan dari warisan orang tuanya.
Kesimpulannya adala bahwa pengangkatan anak dalam hukum adat Indonesia merupakan perbuatan hukum secara tidak tertulis yang sangat kompleks, perbuatan hukum yang harus dilaksanakan dengan rangkaian acara seremonial tertentu dan wajib dipelajari secara lebih mendalam. Keanekaragaman budaya dalam pengangkatan anak membuat hukum adat di Indonesia hidup dan membuat Indonesia sangat kaya dengan pluralisme adat.
3.2 Saran
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan budaya dan hukum adatnya yang kental. Sangat sayang bila kita sebagai penuntut ilmu tidak mempelajari secara lebih dalam sumber pengetahuan yang sangat luas yang terdapat di Tanah Air ini. Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang membutuhkan perhatian secara khusus agar dapat bertahan dalam era globalisasi dan terus dapat hidup dan dilestarikan kepada penerus bangsa. Bila variasi hukum adat yang beranekaragam di Indonesia bisa dirawat dan dijaga dengan baik, maka keistimewaan dan keindahan budaya dan adat Indonesia tak akan hanya menjadi kebanggan bagi bangsa, tetapi suatu saat akan menjadi warisan bagi seluruh penduduk dunia.

[1] Soeroso, 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.176
[2] Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet.ke-4 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm.102.
[3] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: tnp, 1977).
[4] Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.118.
[5] Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.125.
[6] Zaini Mudaris, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta. 1992), hal.61.
[7] Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 182.
[8] Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara : Prize, Semarang, 1987, hal.22.
[9] Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara. Hal.6
[10] Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 99.
[11] Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 117


Tidak ada komentar:

Posting Komentar